Oleh: ikanbijak | September 30, 2014

Nyanghulu ka Hukum, Nunjang ka Nagara, Mufakat jeung Balarea

Hiruk-pikuk dunia politik Indonesia nampaknya belum berakhir. Betapa tidak, kekisruhan pemilihan umum anggota legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-Republik Indonesia, DPR Daerah Provinsi, dan DPR Daerah Kabupaten/Kota) yang diramaikan gugatan para calon dan pengurus partai ke Mahkamah Konstitusi (MK), dilanjutkan dengan ketegangan 2 (dua) kandidat pemilihan presiden dan wakil presiden (Joko Widodo – Jusuf Kalla vs Prabowo – Hatta Rajasa) yang sangat menguras energi. Kontestasi kedua capres-cawapres sudah menarik emosi sejak awal, entah karena hanya ada dua pasangan yang saling berhadapan. Black campaign terus mengalir dari dua kubu di berbagai media, baik internet, televisi, koran bahkan spanduk-spanduk yang mengotori ruang publik.
Setelah pasangan Jokowi-JK terpilih, kegaduhan kembali terjadi ketika DPR-RI membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dimana partai pengusung Prabowo-Hatta atau yang dikenal koalisi merah putih (KMP) memenangkan voting 224 suara lawan koalisi partai pemenang (baca: PDIP) 135 suara. Artinya, pemilihan kepala daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat. Sontak saja, koalisi PDIP melayangkan gugatan ke MK, namun gugatannya ditolak. Entah penolakan ini adalah babak baru konflik perpolitikan Indonesia.
Berkaca kepada masyarakat adat Sunda, mereka mempunyai falsafah hidup bermasyarakat yang sangat luhur dan tidak pernah menimbulkan konflik di masyarakat. Hal ini dikarenakan, masyarakat adat Sunda memegang teguh pepatah orang tua yang dijalankan hingga sekarang, yaitu “Nyanghulu ka Hukum, Nunjang ka Nagara, Mufakat jeung Balarea”. Pepatah adat sunda tersebut saya peroleh ketika berkunjung ke Kasepuhuan Sinar Resmi yang merupakan Kesatuan dat Banten Kidul, pada acara seren tahun.
Pepatah dalam spanduk
Apabila dipisah-pisah, maka arti “Nyanghulu ka Hukum” adalah setiap individu masyarakat harus mengedepankan hukum dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Sehingga tidak ada tindakan main hukum sendiri atau pemukulan massal terhadap setiap pelaku kejahatan. Semuanya diserahkan pada hukum, khususnya hukum yang berlaku dalam tatanan masyarakat lokal (adat) dan umumnya hukum yang berlaku secara formal (peraturan perundang-undangan). Sementara arti “Nunjang ka Nagara” artinya semua tindak-tanduk bermasyarakat harus mendukung tetap berdirinya negara atau pemerintahan, sehingga masyarakat akan sangat mengakui sistem pemerintahan mulai dari tingkat bawah hingga presiden. Dan arti “Mufakat jeung Balarea” adalah semua keputusan yang akan diambil oleh pimpinan adat harus dilakukan secara mufakat bersama seluruh warga. Hal ini dalam rangka menjaga kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat adat. Dengan demikian, secara utuh, pepatah adat sunda tersebut mengamanatkan bahwa dalam bermasyarakat hukum adalah hal utama yang harus ditegakkan dalam rangka menopang sistem pemerintahan yang ajeg, yang diciptakan melalui kesepakatan bersama.
Berdasarkan pepatah tersebut, terlihat jelas bahwa konflik horizontal antar masyarakat dan konflik vertikal antara masyarakat dan pemerintah tidak akan terjadi. Karena masyarakat adat sunda memegang teguh pada hukum, negara dan kesepakatan bersama. Pertanyaannya, kenapa kita yang hidup dalam tatanan modern ini tidak mampu menerapkan falsafah hidup nenek moyang kita? Saya meyakini bahwa setiap suku yang terserak di seluruh nusantara ini memiliki hal yang sama dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apakah para politisi dan pemimpin kita harus magang di masyarakat adat terlebih dahulu? Guna mendapatkan pembelajaran yang harmonis dan saling menghargai diantara perbedaan dan kemajemukan untuk menjunjung tinggi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Semoga.
Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati
baner bahasa


Tinggalkan komentar

Kategori