Oleh: ikanbijak | Juni 25, 2016

Potensi Zakat dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

Kemiskinan di Indonesia masih menjadi kendala utama dalam pembangunan nasional. Betapa tidak, menurut data BPS yang dirilis pada Bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,59 juta orang atau setara dengan 11,22 persen total penduduk Indonesia. Lebih rinci, BPS mengungkapkan bahwa kelompok masyarakat yang rentan adalah mereka yang tinggal di perdesaan. Hal ini digambarkan dengan terjadinya kenaikan angka kemiskinan masyarakat perdesaan sebesar 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21 persen pada Maret 2015, sementara masyarakat perkotaan mengalami kenaikan persentase penduduk miskin pada September 2014 sebesar 8,16 persen, menjadi 8,29 persen pada Maret 2015.

Angka penduduk miskin Indonesia tersebut masih cukup tinggi dibandingkan dengan angka kemiskinan Asia Tenggara. Pada tahun 2004 saja, angka penduduk miskin Asia Tenggara hanya sebesat 6,8 persen. Oleh karena itu, dalam rangka meringkan beban Negara atas penduduk miskin Indonesia, sudah saatnya pembangunan nasional berbasis zakat. Hal ini tentu saja, peran umat Islam diharapkan lebih besar, mengingat jumlahnya diperkirakan mencapai 90 persen.

Besarnya potensi zakat Indonesia diungkapkan oleh Ketua Umum  Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Bapak K.H. Didin Hafidhuddin, dimana potensi zakat Indonesia mencapai Rp 200 triliun lebih per tahun (Antara, 29 Juli 2015). Oleh karenanya, Didin Hafidudin berujar bahwa potensi tersebut dapat membantu pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Namun demikian, besarnya potensi zakat tersebut, pengumpulannya masih belum optimal, karena baru mencapai 15 persen. Hal ini dikarenakan, kompleksitas permasalahan pengumpulan zakat, mulai dari kurangnya kesadaran umat Islam hingga masih kurangnya sosialisasi.

Meski masih rendahnya pengumpulan zakat dari potensi yang ada, uang zakat yang terkumpul harus lebih difokuskan pada program zakat produktif. Menurut Asnaini (2010),  zakat produktif adalah sebuah pemberian atau penyaluran zakat kepada para mustahik dimana zakat tersebut tidak habis sekali pakai (konsumtif) akan tetapi digunakan untuk mengembangkan usaha mereka sehingga dapat membuat para penerimanya mendapatkan penghasilan secara terus menerus tanpa bergantung kepada orang lain dengan harta zakat yang diterimanya. Dengan demikian, program zakat produktif ini diharakan mampu mengubah status dari mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (pemberi zakat).

Dengan kata lain, program zakat produktif diibaratkan pemberian kail (pancing) kepada nelayan, bukannya memberi ikan. Sehingga, para mustahik zakat benar-benar diberdayakan ekonominya, guna terwujudnya kemandirian masyarakat miskin. Program zakat produktif ini lebih bersifat jangka panjang, karena perlu pembinaan secara berkelanjutan, dimulai dengan pelatihan keterampilan, baik pelatihan keahlian khusus maupun pelatihan pengelolaan keuangan, hingga pencarian pasar. sementara itu dalam jangka pendek, perlu juga disandingkan antara zakat produktif dengan zakat konsumtif. Mengingat, kaum duafa juga memerlukan kebutuhan pokok yang sangat mendesak, khususnya bahan pangan.

Menurut Ali (1988) sebagaimana dikutip oleh Rosadi (2015), menyebutkan bahwa beberapa bentuk pendayagunaan untuk pemberdayaan mustahik zakat, yaitu antara lain: (1) pendayagunaan dalam bentuk pemberian bantuan uang sebagai modal kerja usaha mikro dalam meningkatkan kapasitas dan mutu produksi usahanya; (2) pendayagunaan yang kreatif, maksudnya penyaluran dalam bentuk alat-alat sekolah dan beasiswa dan lain-lain; (3) dukungan kepada mitra binaan untuk berperan serta dalam berbagai upaya untuk pemberdayaan usaha mikro dan pembangunan sebuah proyek; (4) penyediaan pendamping lapangan untuk menjamin keberlanjutan usaha, misalnya pendampingan usaha yang mengembangkan usaha mikro dalam bentuk alih pengetahuan, keterampilan dan informasi; dan (5) pembangunan industri untuk pemberdayaan yang ditujukan bagi masyarakat mustahik melalui program-program yang bertujuan yakni penciptaan lapangan kerja, peningkatan usaha, pelatihan, pembentukan organisasi.

Salah satu pegiat zakat produktif adalah Dompet Duafa, terutama program penyelenggaran pendidikan yang sangat berkaulitas. Hal ini dicerminkan dengan banyaknya alumni SMART Ekselensia Indonesia yang masuk ke jajaran perguruan tinggi Negara di tanah air. Sebagai penutup, zakat di Indonesia selama ini digunakan untuk zakat konsumtif dan zakat produktif. Kedepan, zakat produktif harus lebih digalakkan demi mewujudkan kemandirian kaum duafa, dari mustahik menjadi muzakii. Akankah cita-cita suci zakat produktif tersebut dapat diwujudkan?? Semoga zakatnesia menjadi harapan di tengah ketidakberdayaan program pemberdayaan umat.

baner


Tinggalkan komentar

Kategori